Pagi kemarin, seusai setoran hafalan di kelas tahfidz, seperti biasa aku persilakan murid-murid untuk istirahat. Hitung-hitung untuk mengendorkan kembali isi kepala setelah tegang oleh kegiatan menghafal. Ada yang mengisi waktu istirahat dengan bermain bola, membeli cemilan di kantin, tapi beberapa memilih tetap di mushollah untuk sekedar merebahkan badan atau mengobrol bersama teman.
Setelah beberes papan tulis dan sajadah yang dipakai anak-anak untuk sholat dhuha, aku nimbrung pada kelompok terakhir, yang sedang duduk melingkar sembari mengobrol itu.
“Ngobrolin apa, nih?” aku bersila di tempat kosong di samping mereka.
Salah satu dari mereka menjawab, “Pak, kita itu sebenarnya pingin ikut study tour. Tapi tidak dibolehin sama orang tua. Katanya gak punya duit.”
Oh, ternyata sedang ngomongin study tour.
“Nasib punya orang tua miskin, ya kayak gini. Yang lain ikutan tur, kita ndekem bae ning umah,” sahut yang lain.
Aku segera berucap ‘hus’, meski tak dapat kupungkiri lucu juga melihat anak-anak ngomel seperti ini.
Memang beberapa hari nanti, sekolah kami akan mengadakan study tour di Jogjakarta. Biayanya lima ratus ribu rupiah. Sebenarnya ini acara untuk kelas enam. Namun siswa kelas satu sampai kelas lima, diperbolehkan ikut, cuma tidak wajib. Saat aku tawarkan kepada anak-anak di kelasku (kelas 4), siapa yang mau ikut? Hanya tiga anak yang tunjuk tangan. Sisanya diam.
Aku pikir, golongan yang diam ini memang tidak tertarik ikut tour. Memang ada kan anak yang males jalan-jalan jauh dengan alasan mabuk ketika di dalam bis hingga tidak bisa menikmati perjalanan. Tapi dari obrolan ini, aku baru tahu ternyata banyak yang mau ikut, tapi terkendala biaya.
“Ya sudah tidak apa, Kak. Tur ini kan tidak wajib,” ucapku membesarkan hati mereka.
“Tapi aslinya kita pingin ikutan, Pak. Setiap tahun ada study tour, pasti gak pernah dibolehin ikut sama orang tua. Gak duit terus alasannya,” dumel salah satu anak.
Yang lain menyahut, “Coba aja kalau bapakmu Raffi Ahmad atau Atta Halilintar. Pasti berangkat kamu. Bapak kamu miskin, sih. Makanya gak bisa ikut tur, kan?”
“Halah, bapakmu juga miskin. Buktinya kamu juga gak ikut tur!” Balas si anak tadi.
“Sama-sama bapaknya miskin gak perlu ngegas kaleee!” temannya masih tidak terima.
Akhirnya aku tak bisa menahan tawa mendengar celotehan mereka. Urusan study tour saja sampai menghayal punya bapak Raffi Ahmad atau Atta Halilintar.
Setelah tawa mereda, aku iseng tanya kepada mereka, “Kak, seumpama kalian dikembalikan lagi pada saat kalian belum dilahirkan, dan dikasih kesempatan ulang untuk memilih orang tua, apakah kalian masih tetap memilih dilahirkan menjadi anak kandung dari bapak dan ibu kalian saat ini, atau mau ganti orang lain? Misal, jadi anaknya Raffi Ahmad yang kaya raya itu.”
Apakah teman-teman tahu apa jawaban mereka? Dari enam anak yang berkumpul saat itu, enam-enamnya menjawab sama: Akan tetap memilih menjadi anak kandung dari kedua orang tua yang sekarang ini.
Baru saja mereka mengungkapkan rasa kecewa terhadap keadaan ekonomi orang tuanya. Tapi ketika diberi kesempatan untuk memilih untuk ‘ganti orang tua’ mereka tidak mau melakukannya.
Tiba-tiba aku teringat si bungsu Kayla beberapa hari lalu. Ceritanya, dia bilang ke uminya kalau mau dibelikan rumah barbie untuk hadiah ulang tahun ke-7. Uminya tanya, rumah barbie yang seperti apa? Lantas Kayla meminjam hape, membuka aplikasi Shopee, mengetik sesuatu, dan tak lama setelah itu ia menunjukkan gambar ke uminya.
“Kayak gini loh, Mi, maksud adek,” Kayla mendekatkan hape.
“Ya Allah, Nak. Harganya tiga juta. Umi pikir rumah barbie yang kecil-kecil itu.”
“Ndak, Mi. Yang besar kayak gini yang adek pingin.”
“Tapi itu mahal, Dek. Yang lain aja, ya.”
“Ah, Umi mah, ah.” Si bontot ngambek.
“Abi gak punya uang kalau segitu, Dek.”
Masih tetap dengan emosi, Kayla ngomong, “Abi miskin.”
Mendengar hal itu istri menatapku sambil tertawa ngakak, “Lah, baru nyadar.”
Tidak terima ditertawakan, Kayla akhirnya makin merengut.
Istriku bilang ke si bungsu, “Ya sudah, gimana kalau Adek tukeran bapak. Adek jadi anaknya Raffi Ahmad saja. Gak jadi anaknya Abi lagi. Enak, Raffi Ahmad orang kaya, kalau Adek minta apa-apa bakal dibelikan. Gimana? Mau jadi anaknya Raffi Ahmad saja?”
Sebagai jawabannya, Kayla malah menangis dan berkata dengan suara bergetar, “Enggaaak! Adek mau jadi anaknya Abi Fitrah aja.”
“Kata Adek tadi, Abinya miskin, gak bisa beli rumah barbie,” sahut istri.
Kayla kembali bekata tegas, “Enggak. Pokoknya Adek mau jadi anaknya Abi Fitrah aja!”
Istri menatapku sambil senyum ngece, “Duh, abi modelan kayak gini aja digandolin, Dek.”
Loh, jangan salah duhai bojo. Meski kurus item mirip jenglot, tapi aku itu produk unlimited. The special one, pokoknya.
**
Itulah anak-anak, mereka menyimpan rasa cinta yang begitu besar kepada kita. Meski kita selalu memarahinya, meski kita sering mengecewakannya, tapi bagi mereka, kita adalah pusat dunianya.
Coba ingat kembali, kita pernah memukul anak-anak saat mereka dianggap melakukan kesalahan. Setelah itu kita menyesal dan meminta maaf, maka detik itu pula mereka akan langsung memaafkan kita tanpa sisa dendam sedikitpun.
Kita selalu menuntut sesuatu yang lebih terhadap anak-anak. Sekolah harus juara kelas, ngaji harus paling pinter dari yang lain, harus bisa ini, harus bisa itu, hanya agar ambisi kita sebagai orang tua terpuaskan oleh rasa bangga.
Kita menetapkan banyak sekali syarat kepada anak agar mereka bisa ‘diakui dan dicintai’. Padahal pernahkah kita berfikir, bahwa mereka tak pernah menetapkan syarat apapun kepada kita untuk bisa menjadi orang tua yang mereka cintai.
Segala kekurangan yang kita miliki; tak bisa memberikan apa yang mereka mau karena tidak punya uang, suka memarahi anak-anak, sering tak punya waktu untuk bermain bersama anak, dan kekurangan lainnya, ternyata tak membuat cinta mereka pada kepada kita menjadi berkurang meski hanya sekelumit.
Kita sering membanding-bandingkan anak kita dengan anak orang lain, menampakkan keinginan memiliki anak dengan tipe seperti anak orang lain itu. Padahal di sisi lain, meski kita tak lebih baik dari banyak orang tua di luar sana, pribadi kita jauh dari kata ideal, terlalu banyak bopeng-bopeng kekurangan, namun anak-anak tetap sayang kepada kita.
Dan seandainya ada kesempatan kedua bagi mereka untuk memilih ulang dari orang tua mana ia dilahirkan, anak-anak akan tetap memilih kita.
Indramayu, 05 Mei 2024
Fitrah Ilhami