BANYUMASMEDIA.COM – Direktur Utama BPJS Kesehatan, beberapa waktu lalu, membantah adanya kebijakan maksimal tiga hari rawat inap bagi pasien. Katanya, itu cuma ribut-ribut di media sosial. “Jadi gini, BPJS tidak ada kebijakan membatasi tiga hari, itu sudah kuno. Enggak ada itu, tetapi kadang-kadang di medsos masih gitu aja,” begitu kurang lebih bantahannya.
Tapi seperti biasa, komentar itu langsung disambut gegap gempita warganet. Bukan untuk dibenarkan, tapi untuk dipertanyakan. Karena di banyak daerah, kenyataannya memang banyak pasien diminta pulang setelah tiga hari, bukan karena sembuh, tapi karena “sudah cukup” secara administratif.
Bukan rahasia, kondisi ini bikin banyak orang bingung: kalau tak ada batas tiga hari, kenapa rawat inap rasanya diburu-buru selesai? Apakah rumah sakit yang “main aman”? Atau BPJS-nya yang diam-diam membuat garis batas tak kasatmata?
Setelah diusut, baik oleh netizen maupun tenaga kesehatan, ternyata masalah utamanya bukan pada jumlah harinya, tapi pada plafon klaim.
Plafon Klaim: Tak Melarang, Tapi Membatasi
Plafon klaim adalah batas biaya yang ditanggung BPJS untuk berbagai layanan medis: rawat inap, rawat jalan, tindakan operasi, bahkan sampai kacamata. Jumlahnya bervariasi tergantung kelas, jenis penyakit, dan jenis rumah sakit.
Masalahnya, plafon itu sering kali tidak cukup menutupi kebutuhan riil di lapangan. Jadi meski rumah sakit tidak dilarang merawat pasien lama-lama, tapi kalau biaya perawatan melebihi plafon, maka sisanya ditanggung oleh siapa?
Maka jalan pintasnya: segera pulangkan pasien ketika biaya sudah mendekati atau sampai plafon. Sakit belum selesai? Ya rawat jalan saja. Atau disarankan kontrol ke faskes 1.
Seorang netizen bahkan menulis analogi tajam.
“Ibarat seorang suami gak ngelarang istrinya masak mewah, tapi ngasih uang belanja cuma 5000 perak.”
BPJS memang tidak melarang rumah sakit rawat pasien seminggu, dua minggu, bahkan sebulan. Tapi kalau plafon klaimnya hanya cukup untuk tiga hari perawatan, ya rumah sakit akan berpikir dua kali.
Mungkin sudah saatnya pembenahan dilakukan bukan hanya di sisi pelayanan, tapi juga di sisi transparansi dan kebijakan anggaran. Karena kalau tak ada kejelasan, masyarakat akan terus merasa dikorbankan oleh sistem yang katanya gratis tapi ternyata penuh batas tak kasatmata. Dan Rumah Sakit lewat nakes/named biasanya yang akhirnya menjadi samsak pasien. [asr]











