Liputan

Pusat Studi Kota dan Dunia (PSKD): Urban Poor Jadi Akar Tersembunyi Kerusuhan Kota-Kota di Indonesia

×

Pusat Studi Kota dan Dunia (PSKD): Urban Poor Jadi Akar Tersembunyi Kerusuhan Kota-Kota di Indonesia

Sebarkan artikel ini

BANYUMASMEDIA.COM – Pusat Studi Kota dan Dunia (PSKD) menegaskan bahwa kerusuhan yang melanda Jakarta dan sejumlah kota besar Indonesia pada akhir pekan lalu tidak bisa hanya dipahami sebagai persoalan politik sesaat. Meski ada dimensi persepsi elit politik yang dianggap tidak lagi sensitif terhadap problem rakyat, serta kemungkinan adanya penggalangan di balik aksi-aksi anarkis, akar permasalahan yang lebih dalam terletak pada situasi sosial-ekonomi yang kian menghimpit, terutama bagi kelompok miskin perkotaan (urban poor).

“Urban poor adalah lapisan masyarakat yang paling terjepit. Mereka tidak hanya menghadapi biaya hidup yang semakin tinggi, tapi juga terpinggirkan dari kebijakan perlindungan sosial negara,” ujar Ketua Dewan Pengurus PSKD, Dedi Supriadi.

Survei Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan kontras yang tajam. Secara nasional tingkat kemiskinan menurun menjadi 8,47 persen pada Maret 2025. Namun di kota justru naik, dari 6,66 persen (11,05 juta orang) pada September 2024 menjadi 6,73 persen (11,27 juta orang) pada Maret 2025.

Sebaliknya, di desa angka kemiskinan turun dari 11,34 persen menjadi 11,03 persen pada periode yang sama. Artinya, enam bulan terakhir kota-kota Indonesia menambah 220 ribu orang miskin baru, sementara desa justru mengalami perbaikan.

Indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan keparahan kemiskinan (P2) juga menegaskan tren yang lebih serius. Di kota, P1 berada di angka 1,06 dan P2 sebesar 0,245. Sebaliknya di desa, meski secara absolut lebih tinggi (P1 1,81; P2 0,427), trennya justru turun. Artinya, jurang kemiskinan di perkotaan semakin dalam dan parah. Dengan kata lain, jumlahnya bertambah dan kualitas hidup mereka memburuk.

“Kondisi ini semakin ironis bila melihat perbedaan instrumen kebijakan antara desa dan kota. Rakyat di desa relatif terlindungi oleh Dana Desa, program padat karya, subsidi pertanian, dan berbagai bantuan sosial berbasis komunitas yang memperkuat daya tahan masyarakat,” kata Dedi.

BACA JUGA  Komunitas BARENG: Wadah Penghobi Bajaj Republik Ngapak

Sebaliknya, urban poor di kota nyaris tidak memiliki payung proteksi kebijakan yang sebanding. Mereka sepenuhnya bergantung pada mekanisme pasar dan jaringan informal untuk bertahan hidup. Maka tidak heran, ketika harga pangan melonjak atau lapangan kerja menyusut, kelompok inilah yang paling pertama merasakan dampaknya.

Keterjepitan ini terlihat dari semakin banyaknya setengah penganggur di kota—bertambah 460 ribu orang dalam enam bulan terakhir—serta tingginya tingkat ketimpangan (Gini Ratio perkotaan 0,409, jauh lebih timpang dibanding desa 0,313). Di saat yang sama, mayoritas bekerja di sektor informal tanpa jaminan sosial, tinggal di permukiman padat dengan sanitasi buruk, dan menghadapi kenaikan harga pangan tanpa perlindungan negara.

“Situasi tersebut menciptakan rasa frustasi yang mudah dimobilisasi menjadi kemarahan sosial, sebagaimana terlihat dalam kerusuhan baru-baru ini,” ujar Dedi.

PSKD menilai bahwa kerusuhan akhir pekan lalu tidak bisa dilepaskan dari ledakan akumulasi ketidakpuasan masyarakat miskin perkotaan. Spekulasi mengenai aktor politik yang bermain memang menjadi kemungkinan, tetapi yang lebih penting adalah menyadari bahwa struktur sosial-ekonomi perkotaan yang sedang retak menjadi lahan subur bagi ledakan keresahan sosial.

“Urban poor adalah bom waktu. Jika tidak segera ditangani, setiap percikan kecil—baik itu ucapan elit politik, kenaikan harga pangan, atau pemutusan hubungan kerja—dapat berubah menjadi kobaran api,” tutur Dedi.

Dalam pandangan PSKD, negara harus segera menghadirkan instrumen khusus bagi kota-kota sebagaimana Dana Desa melindungi masyarakat pedesaan. Kebijakan fiskal yang memperkuat ketahanan ekonomi lokal, subsidi pangan dan transportasi yang tepat sasaran, hingga perlindungan sektor informal menjadi kebutuhan mendesak. Tanpa itu, kota akan terus menjadi episentrum gejolak sosial-politik di masa depan.

“Kalau desa bisa diproteksi dengan Dana Desa, mengapa kota dibiarkan tanpa perlindungan? Kerusuhan kemarin adalah peringatan keras bahwa kita tidak boleh lagi menutup mata terhadap penderitaan urban poor,” ujarnya.

BACA JUGA  Beli Indonesia Bela Indonesia: Gerakan PBI untuk Menguatkan Ekonomi Lokal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *