Ditatapnya dalam-dalam buku tabungan berwarna biru tua. Angka-angka menunjukkan nilai yang tertulis disertai keterangan transaksi, rapih dan teratur.
Ibra, sebagai seorang lelaki yang mendamba kehidupan rumah tangga bahagia versi generasi milenial nyaris sempurna. Istrinya adalah anugerah yang diidam-idamkan sejak lama. Paras manis dan menyenangkan saat ditatap, lemah lembut kepada dirinya dan anak lelakinya yang baru berusia 5 tahun pun disaksikan setiap hari. Iya, belum seratus persen mengikuti parentsing ala Nikita Willy, tapi setidaknya tidak selalu mengeluarkan sumpah serapah dan kata kasar tidak terjadi ketika di depan mata disaksikan kejadian yang menuji kesabaranya.
Ibra, seorang lelaki yang beruntung. Sebelum menikah sudah menjalani bisnis counter HP dengan modal nekat. Bisnis yang dijalani dengan temannya berjalan baik meski tak meroket. Saat ini setidaknya ada 3 counter HP yang dikelolanya.
Istrinya yang dinikahi enam tahun silam benar-benar bisa diandalkan. Setiap rupiah yang diberikan diterima dengan penuh rasa syukur.
“Makasih ya Mas, semoga Allah ganti dengan yang lebih banyak, lebih berkah dan dari setiap rupiah yang Mas Ibra berikan bisa menyicil tiket syurga,” ucap Riska setiap diberi uang oleh suaminya.
Lelaki mana yang tidak semakin semangat dengan doa-doa yang begitu indah.
Riska sebagai seorang istri sangat pandai mengelola keuangan dari suaminya. Tidak ceroboh, tidak boros juga gaya hidup yang sederhana dan beraahaja, pendek kata Riska bisa memilah antara kebutuhan dan keinginan.
Seketika ditatap lagi buku tabungan dan diajukan pertanyaan pada istrinya.
“De, tahun ini kita berqurban yuk.. “
“Qurban Mas? Qurban nyembelih sapi atau kambing maksudnya?” tanya Riska.
Ibra menjawab pertanyaan istrinya dengan anggukan kepala.
“Tabungan kita belum banyak banget, katanya Mas pengin ngerapihin counter juga pengen selalu update dengan ponsel-ponsel yang selalu baru serinya,” jawab Riska mengingatkan rencana yang dibahas kemarin sore.
Ibra terdiam, membenarkan apa yang disampaikan istrinya.
Suara murottal Quran Surah Al Kahfi membahana dari speaker masjid di kompleks tempat tinggalnya, mengingatkan wasilah cahaya yang akan bersinar diantara dua Jumat.
Setidaknya dengan murottal Al Kahfi akan ada banyak yang mengikuti melafadzkan atau minimal menyimaknya.
“De, tolong siapkan baju ama sarung aku ya. Jangan lupa si ganteng Febi didandanin pakaian baju koko terbaiknya. Mau aku ajak ke masjid buat Jumatan,” ucap Ibra kepada istinya.
“Siap. Laksanakan” jawab Riska menyerupai polwan yang tak bisa menolak perintah atasan yang selalu diawali dengan kata siap.
Jamaah terlihat meluber hingga halaman masjid.
“Dzulhijjah adalah bulan pembuktian cinta. Cinta siapa kepada siapa?
Cinta seorang hamba pada Rabbnya. Tak terbilang cinta Allah kepada kita. Denyut nadi, detak jantung, sorot mata, hembusan nafas, kekuatan fisik, ketenangan hati, kecemerlangan berfikir, kecukupan pangan dan masih banyak yang lainnya. Yang kita tidak akan sanggup menghitungnya. Pembuktian cinta itu memang terkadang dibenturkan dengan apa yang sangat kita cintai. Ibrahim diminta membuktikan cintanya kepada Allah melalui Ismail.
Lebih dicintai mana oleh Ibrahim, Ismail anak yang sudah ditunggu lama atau Allah yang memberi kebahagiaan berupa anak soleh bernama Ismail.
Ismail di jaman sekarang adalah kendaraan kita, hunian kita, pekerjaan kita, jabatan kita dan segala yang melenakan kita dari mengutamakan Allah. Maka kalau kita ada kendaraan tapi ngga mau berqurban, ada rumah nyaman ditinggali tapi ngga berqurban, ada gaji jutaan tapi ngga mau berqurban ada tabungan, deposito di mana-mana tapi ngga berqurban, periksa hati kita. Allah tidak meminta Ibrahim punya dua putra, Allah juga tidak meminta satu kendaraan kita, Allah ngga meminta setiap bulan untuk berbagi daging kepada fakir miskin, dhuafa dan yang lainnya. Allah hanya meminta sedikit dari yang Allah titip kan ke kita, “
Khotbah khotib Jumat ini merasuk dengan tajam ke hati Ibra. Hatinya berperang antara berqurban atau memenuhi hajat-hajat usahanya.
Usai solat, dilafazkan dengan lirih, “Ya Rabb tolong aku”
Nasihat Jumatan tadi siang benar-benar mengacaukan pikirannya.
Antara berqurban sebagai pembuktian cintanya atau merapikan tampilan counternya dengan harapan semakin banyak pelanggan maka semakin banyak peluang baginya bersedekah tak hanya di bulan Dzulhijjah.
Hari-hari semakin mendekati hari raya Iduladha.
Ibra sudah belanja bahan -bahan untuk merenovasi counter HP nya. Nilainya ngga usah ditanya. Harga semen saja hari ini meroket. Pengerjaan renovasi sudah 80%.
Hari tasrik berlalu. Daging qurban hibahan dari masjid dirinya sebagai panitia masih ada beberapa potong di freezer belum tersentuh. Bosen beberapa hari makan daging terus.
Waktu menunjukkan pukul 21.00 wib. Saatnya Ibra mengecek hasil penjualan HP satu persatu di ketiga counternya. Dua counter lancar dan sesuai antara uang yang masuk dan jumlah HP yang terjual. Di counter yang ketiga ada yang mengganjal.
“Van, ini kenapa beda.” tanya Ibra kepada Evan yang seharian menjaga counter.
“Beda gimana Pak? “
“Ya beda. Ini uang dari hasil penjualan HP kurang 4 juta” seru Ibra.
Evan membulatkan matanya, sebagai ekpresi kaget.
“Masa sih Pak,” ujar Evan disisipi rasa tak percaya.
Ibra merasa Evan tidak melakukan kecurangan, tapi faktanya uang 4 juta tidak ada.
“Bapak ngga salah hitung kan? “
” Ya udah kita cek ulang yuk, “
Tidak nampak ketidakberesan kerja Evan hari ini.
“Kita cek rekaman cctv aja”
Ibra melajukan kendaraannya dengan hati gemuruh. Setiap desahan nafasnya beriringan dengan istigfar penyesalan yang semakin menunjukkan bahwa dirinya tak sehebat penilaian orang selama ini. Faktanya untuk membuktikan cinta kepada Tuhannya yang sudah begitu baik, dia tak mampu.
Empat juta rupiah dari harga sebuah ponsel dagangannya yang raib bukankah setara dengan satu ekor hewan qurban?
Dirinya ternyata lebih mencintai dunia dari pada pencipta dunia.
“Ya Rabb, maafkan aku yang lebih memilih cinta yang keliru. Ampuni aku yang lebih memburu puja sanjung manusia dari pada membuktikan cinta ku kepada-Mu”
Tiada terasa menitik bulir bening di pipi Ibra sebagai tanda penyesalan khilafnya. Bukan menangisi kehilangan harta bendanya tapi menangisi kebodohannya atas tipu daya dunia. Kebodohan atas dua cinta yang semestinya indah.
Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak.
Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah). (Qs.Al Kautsar : 1-2)
Puri Indah – Dzulqodah 1445