Fiksi

Milik Tuhan

935
×

Milik Tuhan

Sebarkan artikel ini

Tubuh kurusnya yang terbalut baju lusuh dibawanya memasuki pelataran masjid di komplek perumahan itu. Rambutnya yang kusut, pipi tirusnya terlihat jelas. Hidungnya yang agak mancung sebenarnya membuat dirinya lebih mirip Arsy Widianto namun wjahnya tak sebersih dan secerah sang pelantun “Dengan Caraku” itu.

Mata dengan sorot yang agak kurang bersahabat menelisik setiap sudut bangunan suci itu. Nampak beberapa sales sedang tekun dengan nota-nota dan smart phonenya. Biar bulan puasa begini kejar target tetep dijala kan. Juga beberapa pedagang perabotan kelilingan nampak duduk di serambi. Sekadar melepas penat, mereka saling menanyakan kabar jajakannya hari ini.

Lelaki berbaju lusuh itu menuju tempat wudu, sekadar membasuh wajahnya agar terlihat lebih segar, setelahnya ia pun tak melakukan apa-apa. Tak dzikir, membuka mushaf apa lagi menunaikan dua rekaat sebagai bentuk penghormatan pada bangunan tempat ibadah dengan jumlah terbanyak di negeri ini.

Membayang kembali dalam benaknya tiga anaknya yang menangisi perebutan makanan dua potong roti yang diterimanya dari pemberian juragan buah yang tak jauh dari rumahnya saat berbuka puasa kemarin. Juga terngiang rengekan berharap baju baru biar bisa berhari raya seperti teman-temannya.

Lama lelaki itu menunggu orang-orang yang ada di masjid beranjak pergi. Ia menghibur dirinya dengan Hanya mematung mengamati sekeliling sembari batinnya merancang strategi supaya misinya berhasil.

Satu persatu sales dan pedagang kelilingan itu melanjutkan tugas dan pencarian nominal rupiah demi pemenuhan hajat hidup keluarganya.

“Sudah pada pergi, ” batinnya.

Perlahan dia masuk masjid. Hembusan semilir menyejukan dia rasakan bersumber dari mesin pendingin ruangan yang terpasang di dalam masjid itu. Karpet empuk berwarna hijau pun membuat iya membenarkan info saldo masjid itu yang berjumlah ratusan juta yang ia simak hari Jumat lalu ketika tanpa sengaja ia mampir . Sebelum bulan puasa dia sering menyinggahi masjid ini karena ada deretan nasi box berjajar rapi Dan pasti gratis. Dan Jumat yang lalu dia pun menikmati nasi box itu.

BACA JUGA  Si Kancil dan Rencana Air Ajaib

Satu lemari digunakan untuk menyimpan mukena dan sajadah terletak di sudut kiri belakang. Mungkin supaya jamaah perempuan mudah mengambilnya ketika mereka mengenakan pakaian yang belum menutup seluruh tubuhnya.

Sementara di pojok kanan samping pintu terpampang lemari kaca berisi buku-buku dan mushaf. Di sebelah lemari kaca itulah ada kotak yang hendak diincar lelaki berbaju lusuh itu.

Diamatinya dengan seksama sekeliling masjid itu. Dipelajari bagaimana cara mengeksekusi kotak itu.
Hati nuraninya sebenarnya protes dan tak ingin melakukan tindakan tercela itu, tapi kemudian batinnya membenarkan tindakan yang sudah dirancangnya.

“Bukankah salah satu yang berhak atas himpunan dana itu adalah aku? Orang miskin juga fakir. Tentu selain anak yatim piatu, janda tua, anak putus sekolah dan yang lainnya? Bukankah jamaah menyisihkan atau bahkan menyengaja bersedekah dan infak untuk membantu orang-orang seperti aku? Toh ini adalah milik Tuhan. Dan aku berhak atas kepemilikan Tuhan. Orang-orang yang mengurus masjid ini saja yang tak bekerja dengan becus, uang ratusan juta mengendap di bank, sementara di sekelilingnya banyak orang tak berdaya hanya bersebab urusan perutnya saja,” hatinya memberi alasan atas perbuatan yang hendak dilakuakannya.

Suasana semakin sunyi. Diambilnya alat yang sudah dipersiapkan. Dicukil gembok yang mengunci kotak itu. Dan berhasil. Matanya membulat takjub melihat lembaran merah, biru, hijau, ungu, cokat dan abu-abu berkumpul. Diraihnya dengan sigap. Hatinya sebenarnya berdebar keras.

Apa lagi bunyi decak cicak yang sempat membuatnya kaget.

Ia tak mengambil semuanya, sengaja ia sisakan sembari berbisik, “Tuhan, maafkan aku. Aku mengambil milik-Mu dengan memaksa seperti ini. Bila para pengurus masjid lebih memilih menyimpannya di bank dan para pelaku kapitalis yang menggunakannya, maka biarkan aku menghujat dengan cara seperti ini.

BACA JUGA  Persahabatan Tupai dan Burung Pipit

Setelah kotak itu tertutup rapi berlalulah lelaki lusuh itu.

Masjid masih sepi. Mungkin ramai lagi nanti menjelang waktu solat asar tiba. Usai Asar paling akan diramaikan oleh bocah-bocah mengeja a ba ta sa dan menunggu waktu berbuka puasa. Masjid menyediakan menu buat buka bersama jumlahnya banyak pula, maka bila Magrib tiba masjid diramaikan penikmat menu buka. Selepas Isya akan kembali sunyi bahkan gelap tapi karena ini bulan puasa masjid ramai hingga jam sepuluh malam. Sementara tempat hiburan menyedia ruang hingga menjelang Subuh dengan hingar bingar dan gemrlap cahaya yang mempesona. Duit dari mana untuk operasional itu bila bukan dari duit yang mengendap di bank dari kas masjid-masjid kaya raya.

Puri Indah – Ramadan 1445 H