Hikmah

ISLAM TIDAK MENGAJARKAN INDIVIDUALISME

×

ISLAM TIDAK MENGAJARKAN INDIVIDUALISME

Sebarkan artikel ini
https://www.pexels.com/

BANYUMASMEDIA.COM – Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur setiap aspek kehidupan manusia. Ia tidak hanya mengatur hubungan vertikal kita dengan Allah, yaitu melalui ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Namun, Islam juga secara fundamental mengatur hubungan horizontal kita sesama manusia, membangun tatanan masyarakat yang saling peduli, tolong menolong, dan harmonis. Inilah esensi ajaran Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin, rahmat bagi semesta alam.

Dalam beberapa waktu terakhir, kita menyaksikan sebuah fenomena yang cukup mengkhawatirkan, terutama di kalangan generasi muda kita. Ada semacam tren menarik diri dari interaksi sosial, bahkan terkesan menolak keterlibatan dalam komunitas. Kita sering mendengar istilah seperti “kabur aja dulu” sebagai ekspresi melarikan diri dari masalah atau tanggung jawab sosial. Fenomena ghosting dalam pergaulan, self-isolation, hingga sikap anti-komunitas, menjadi indikasi nyata bahwa semangat individualisme semakin menguat.

Generasi digital, yang terbiasa berinteraksi dengan layar gadget daripada manusia nyata, seolah menemukan zona nyamannya dalam kesendirian. Informasi yang melimpah, hiburan yang tak terbatas, semua bisa diakses secara personal tanpa perlu bersosialisasi. Ini tentu menjadi tantangan besar bagi tatanan sosial kita.

Fenomena ini, jika tidak diantisipasi, dapat mengarah pada penguatan sebuah paham yang dikenal dengan individualisme. Sikap ini perlahan-lahan mengikis esensi dari fitrah manusia sebagai makhluk sosial, yang pada gilirannya dapat merusak tatanan masyarakat yang saling membutuhkan.

Lalu, apa sebenarnya individualisme itu? Secara sederhana, individualisme adalah sebuah sikap hidup yang cenderung mementingkan diri sendiri di atas kepentingan sosial atau komunitas. Fokusnya adalah pada kebebasan pribadi, kemandirian, dan pencapaian individu; terkadang mengabaikan dampaknya terhadap orang lain atau lingkungan sekitar.

Sikap ini tentu tidak muncul begitu saja, melainkan memiliki beberapa akar yang melatarinya. Sekularisme, sebagai paham yang memisahkan agama dari urusan dunia, sering kali meminggirkan nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan. Hal ini bisa memicu sikap individualisme. Kemudian, materialisme yang menempatkan kepemilikan materi dan kesuksesan duniawi sebagai tujuan utama hidup, juga mempunyai peran dalam hal ini. Selain itu, trauma sosial, seperti pengalaman dikhianati, diintimidasi, di-bully atau merasa tidak diterima dalam interaksi sosial, bisa mendorong seseorang untuk menarik diri. Terakhir, tekanan budaya digital juga berperan; meskipun media sosial menghubungkan kita, ia juga bisa menciptakan ilusi kedekatan tanpa interaksi mendalam, bahkan memicu perbandingan sosial yang tidak sehat dan perasaan rendah diri.

BACA JUGA  Sikap Kita dalam Berdoa

Jika individualisme ini terus merajalela, dampaknya akan sangat negatif bagi umat dan masyarakat secara keseluruhan. Pertama, akan terjadi hilangnya empati dan solidaritas. Orang menjadi cuek, tidak peduli dengan penderitaan atau kesulitan orang lain, dengan prinsip “yang penting saya nyaman” menjadi pegangan hidup.

Kedua, kita akan melihat peningkatan depresi dan kesepian. Ironisnya, meskipun tampak mandiri, orang yang individualis seringkali merasa sangat kesepian dan rentan terhadap depresi karena tidak memiliki jaringan dukungan sosial yang kuat, padahal manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi.

Ketiga, akan terjadi terputusnya rantai kebaikan dan kerja sama sosial. Program sosial, gotong royong, atau kegiatan kemasyarakatan akan sulit terwujud tanpa partisipasi aktif dari individu-individu, yang pada akhirnya membuat masyarakat menjadi rapuh dan mudah tercerai-berai.

Oleh karena itulah, Islam dengan tegas menolak individualisme yang egoistik dan mementingkan diri sendiri. Islam tidak mengajarkan uzlah, yaitu menyendiri dan menjauhi masyarakat dengan niat fokus untuk beribadah secara personal. Sebaliknya, Islam adalah agama yang membangun masyarakat, membentuk umat yang kokoh, dan menjunjung tinggi nilai persaudaraan. Allah Swt. berfirman dalam Surah Al-Hujurat ayat 10:

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Karena itu, damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-Hujurat: 10)

Ayat ini menegaskan bahwa persaudaraan adalah pilar utama dalam Islam. Kita adalah satu kesatuan, seperti tubuh yang saling terhubung. Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:

“Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya seperti sebuah bangunan yang sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Solidaritas sosial, atau kepedulian terhadap sesama adalah ciri seorang mukmin sejati. Kita bisa melihat bagaimana Allah Swt. mencela orang-orang yang abai terhadap masyarakat dalam Surah Al-Ma’un:

BACA JUGA  Takbiran Dzulhijjah Sudah Boleh Dilakukan Sejak Awal sampai Usai Hari-Hari Tasyriq

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (Q.S. Al-Ma’un: 1–3)

Mengabaikan anak yatim dan tidak peduli terhadap orang miskin adalah bentuk pendustaan agama, meskipun mungkin ia rajin shalat. Ini menunjukkan betapa kuatnya dimensi sosial dalam iman kita.

Rasulullah Muhammad ﷺ adalah teladan terbaik dalam kehidupan bermasyarakat. Beliau tidak pernah menarik diri dari masyarakat, bahkan beliau adalah pusat dari segala aktivitas sosial. Beliau hadir dan ikut serta dalam membangun masjid, menggali parit ketika Perang Khandaq dan menyelesaikan perselisihan. Beliau adalah pelopor dalam menolong orang miskin, memuliakan anak yatim, dan menyambung tali silaturahmi. Beliau tidak pernah membiarkan orang dalam kesusahan sendirian. Jika ada yang sakit, beliau menjenguknya. Jika ada yang meninggal, beliau mengurus jenazahnya. Jika ada yang kelaparan, beliau berusaha mencarikan makanan. Oleh karena itu, sebagai umatnya, sudah selayaknya kita meneladani beliau.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa tantangan zaman digital mempunyai peran yang besar munculnya individualisme. Namun, sebenarnya kita bisa memanfaatkan kemajuan teknologi untuk memperkuat spirit jamaah dan persaudaraan. Yaitu dengan menggunakan media sosial sebagai alat untuk memperkuat silaturahmi dan dakwah, bukan sebagai sarana untuk melarikan diri dari realitas sosial. Hubungkan kembali tali persaudaraan yang mungkin renggang, sampaikan kebaikan, dan berbagilah ilmu. Aktiflah ikut serta dalam komunitas dakwah, majelis ilmu, atau kegiatan bakti sosial. Ini adalah cara efektif untuk membangun jaringan sosial yang positif dan produktif. Daripada self-isolation, carilah komunitas yang bisa mendukung pertumbuhan spiritual dan sosial kita.

Merupakan hal yang sangat penting untuk menanamkan nilai-nilai kolektivisme dan kepedulian sejak dini. Ini berarti, keluarga mempunyai peran sentral dalam upaya membendung arus individualisme. Di dalam rumah, para orang tua memiliki tanggung jawab besar untuk mendidik anak-anak agar tidak tumbuh menjadi pribadi yang egois. Ajarkan mereka untuk berbagi, peduli pada adik-kakak, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan rumah. Lebih dari sekadar nasihat, berikanlah contoh nyata dengan sering bersosialisasi dan aktif membantu tetangga, menunjukkan bahwa kepedulian adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

BACA JUGA  Tips Jitu Mendapat Berkah Malam Lailtul Qodr

Tak berhenti pada lingkup keluarga, masyarakat juga harus aktif menghidupkan kembali tradisi gotong royong dan kerja sama. Melalui wadah seperti RT/RW, masjid, atau berbagai organisasi kemasyarakatan, adakanlah kegiatan-kegiatan yang melibatkan partisipasi warga secara aktif. Misalnya, kerja bakti membersihkan lingkungan, menjenguk warga yang sakit, atau patungan membantu sesama yang kesulitan. Dengan demikian, ikatan sosial semakin kuat dan rasa kebersamaan akan terpupuk. Menanamkan nilai cinta sesama sejak kecil, baik di rumah maupun di lingkungan masyarakat, adalah investasi jangka panjang yang tak ternilai harganya demi masa depan umat yang kokoh dan penuh kasih sayang.

Sikap individualisme yang egoistik adalah ancaman nyata bagi tatanan sosial dan keimanan kita. Fenomena menarik diri dari interaksi sosial, harus diluruskan dengan spirit ukhuwah Islamiyah dan solidaritas sosial. Islam mengajarkan kita untuk menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah. Islam menghendaki kita untuk peduli, gotong royong, dan saling menopang, karena inilah syarat iman yang sejati.

Marilah kita bangkitkan kembali budaya tolong-menolong, saling peduli, dan aktif dalam membangun masyarakat yang harmonis. Jangan biarkan gadget atau kesenangan pribadi memisahkan kita dari saudara-saudara kita. Jadikanlah setiap interaksi sosial sebagai ladang pahala, setiap uluran tangan sebagai bukti cinta kepada Allah dan sesama.

Oleh: Ust. Achmad Dahlan, Lc., MA.
(Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan, PW Ikadi DIY)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *