BANYUMASMEDIA.COM – Di Jawa, dahulu ada sebuah bayangan bergaris gelap yang melintas di sela batang jati, menyelinap di antara perdu, dan menorehkan sunyi ke dalam malam. Ia adalah Panthera tigris sondaica, Harimau Jawa, si penguasa hutan yang kini hanya hidup sebagai jejak samar di arsip kolonial, cerita simbah, dan museum zoologi. Kita tak lagi punya tubuhnya, hanya kenangan dan catatan ilmiah tentang bagaimana seekor raja bisa pelan-pelan diluruhkan oleh gergaji, peluru, dan sawah yang meluas.
Tubuh Kecil yang Tidak Pernah Remeh
Harimau Jawa bukan raksasa seperti Bengal di India. Ukurannya relatif “ringkas”: jantan sekitar 200–245 cm dari kepala hingga ekor, dengan berat 75–141 kg. Warna tubuhnya lebih gelap, belangnya rapat dan tipis lebih mirip “grafis” ketimbang brush stroke besar harimau Sumatra. Ia hidup di hutan hujan dataran rendah, hutan jati, semak belukar, hingga savana di Jawa bagian tengah dan timur.
Mangsa utamanya: rusa sambar, muncak, babi hutan, banteng muda, hingga lutung. Sebuah rantai makanan yang kini juga ikut porak-poranda.
Abad Ketika Harimau Jawa Disingkirkan
Sejarawan biologi mengungkap bahwa harimau Jawa masih relatif melimpah sebelum abad ke-19. Namun ketika perkebunan kolonial Belanda merambah Jawa, nasib sang harimau mulai berubah. Pemerintah kolonial mengumumkan bounty hunting: siapa pun yang berhasil membunuh harimau akan diberi hadiah uang. Memang, kebijakan itu efektif, terlalu efektif.
Dalam laporan-laporan kolonial, jumlah harimau yang dibunuh mencapai ratusan tiap tahun. Pada saat yang sama, hutan jati ditebang, perkebunan tebu dan kopi meluas, dan sawah serta permukiman desa bertambah cepat. Habitat harimau runtuh di hadapan ekonomi perkebunan.
Pada 1940-an hingga 1960-an, harimau Jawa masih muncul di Merapi, Merbabu, Sempu, Baluran, bahkan Meru Betiri. Tetapi jumlahnya susut drastis. Awal 1970-an, penelitian memperkirakan populasinya tinggal 20–40 ekor.
Angka itu tragis. Sedikit sekali untuk sebuah spesies besar yang butuh ruang luas, mangsa banyak, dan konektivitas populasi.
Jejak Terakhir Sang Penguasa
Pada 1976 ada laporan penampakan harimau di Meru Betiri tanpa foto, tanpa bangkai, tanpa bukti fisik. Tahun 1979–1982, beberapa cakaran dan jejak kaki ditemukan, tapi tidak cukup kuat untuk menyatakan spesies itu masih hidup. Kamera jebak belum secanggih sekarang, dan di banyak lokasi hanya ada cerita lisan penjaga hutan.
Pada 1990, setelah serangkaian survei WWF dan pemerintah, IUCN akhirnya menjatuhkan putusan pahit:
Harimau Jawa dinyatakan punah.
Sejak itu, setiap raungan misterius atau jejak besar di tanah selalu memancing harapan. Tapi harapan itu tak pernah diikuti bukti ilmiah.
Apa yang Membunuh Harimau Jawa?
Peneliti konservasi merangkum penyebabnya seperti ini:
- Hilangnya habitat — Deforestasi besar-besaran menjadikan Jawa terlalu sempit bagi predator besar.
- Menurunnya populasi mangsa — Banteng dan rusa-rusa diburu habis, membuat harimau kelaparan dan terpaksa mendekati desa.
- Perburuan langsung — Statusnya berubah dari raja hutan menjadi hama perkebunan.
- Populasi terfragmentasi — Kelompok kecil harimau tersebar jauh dan tidak dapat lagi bereproduksi sehat.
Semuanya berkelindan, membentuk badai sempurna yang menutup usia spesies ini.
Benarkah Ia Sudah Punah Total?
Di Meru Betiri, kadang muncul cerita: suara raungan dari bukit, bayangan besar di kejauhan, tapak kaki yang disebut “bukan macan tutul”. Tetapi hingga kini, belum ada foto kamera jebak, DNA, rekaman suara, atau kotoran terverifikasi.
Ilmuwan tetap sepakat:
tidak ada bukti yang menunjukkan harimau Jawa masih bertahan. Yang tersisa hanyalah kemungkinan, samar, kecil, dan tak cukup kuat untuk disebut harapan.[asr]











