BANYUMASMEDIA.COM – Beberapa hari terakhir, jagat maya ramai membahas trailer film animasi Merah Putih: One For All. Bukan karena pesonanya, melainkan karena respon pedas netizen: visual terasa dipaksakan, cerita kelewat dibuat-buat, dan dana produksinya, ditengarai menyentuh lebih dari Rp 6 miliar yang dikabarkan berasal dari uang negara.
Puncaknya ketika Badan Bahasa Kemendikbud turut ambil bagian dalam perdebatan ini. Lewat media sosial, mereka memberi “bumbu” tambahan:
“Nasionalis, tetapi Pakai Bahasa Asing.”
Tulisan itu menjadi tamparan terselubung bahwa film yang disebut nasionalis justru lupa menghargai bahasa dan identitas sendiri, sebuah ironi yang tidak bisa lolos begitu saja. Respons ini membuat publik semakin menjadi-jadi.
“Menggunakan bahasa asing pada judul film bertema nasionalisne dan kebangsaan, tetapi mengabaikan bahasa sendiri terasa paradoksial. Jika kita ingin generasi muda mencintai tanah air, bukankah seharusnya kita memulainya dengan menghormati bahasa sendiri?”
Bagi masyarakat yang sudah terbiasa dengan animasi berkualitas seperti Jumbo, film ini terasa seperti kembali ke masa dulu, bahkan ada yang menyeletuk, bahwa film ini hanya salah zaman saja.
“Ini film bagus banget, jika diputar tahun 1960 an.”
Film bertema nasionalis harusnya menjadi cermin kualitas, bukan sekadar tombol untuk langsung diputar di layar bioskop.
Badan Bahasa mungkin hanya menyentil lewat tulisan singkat, tapi dampaknya besar: membuka diskusi publik tentang apa artinya menghargai budaya dan bahasa bangsa, termasuk dalam layar animasi. Film ini, entah nanti dinikmati atau dikecam, telah menunjukkan bahwa masyarakat kita peduli, bahwa sebuah karya seni, terutama yang didanai publik, semestinya lulus uji, bukan sekadar dipromosikan.[asr]











