Esai

Republik Malas Baca, Rajin Mencuri

×

Republik Malas Baca, Rajin Mencuri

Sebarkan artikel ini
sumber unplash

BANYUMASMEDIA.COM – Bayangkan seorang anak SMP, usia lima belas tahun, duduk di kelas dengan buku terbuka. Matanya bergerak mengikuti huruf, tetapi pikirannya kosong. Kata-kata melintas tanpa singgah. Ia membaca, tetapi tak pernah betul-betul membaca. PISA mencatat: tiga perempat anak seusianya di negeri ini hanya sanggup mengeja tanpa memahami—Itu bukan angka, itu cermin. Cermin yang sudah dua puluh tahun menggantung di hadapan kita, dan kita memilih menutup mata.

Di Jakarta, ibukota yang katanya pintu gerbang peradaban, OECD menemukan 32% orang dewasa tidak sanggup memahami teks paling sederhana. Angka yang lain: 37% hanya bisa mengerjakan tugas-tugas dasar. Hanya 5% yang bisa menelan teks panjang, dan kurang dari 1% yang mampu mengunyah bacaan kompleks. Itu berarti, bahkan di pusat keramaian, hampir tujuh dari sepuluh orang dewasa hidup dalam kabut literasi rendah. Dan bila ibukota saja demikian, apa yang bisa kita bayangkan dari pelosok?

Sejarah seakan mengulang ironi. Dulu, di zaman kolonial, pemerintah Belanda hanya memberi pendidikan pada segelintir anak pribumi, cukup agar mereka bisa menjadi juru tulis dan pegawai rendah. Kini, di zaman merdeka, kita sendiri yang mengabadikan pola itu: pendidikan yang menghasilkan jutaan pembaca bayangan—pembaca yang hanya mengenal bunyi, bukan makna.

Kita ini sering berkata: bangsa besar adalah bangsa yang mencintai membaca. Tapi apakah benar kita bangsa pembaca? Atau sekadar bangsa penghafal, bangsa penyerap brosur, bangsa penggila “ringkasan”?

Padahal, membaca adalah cara manusia menaklukkan waktu. Tapi jika mayoritas hanya berhenti pada mengeja, apa yang sesungguhnya kita taklukkan? Mungkin justru waktu yang sedang menelan kita bulat-bulat.

Begitu juga angka-angka itu, dingin dan kaku, berubah menjadi metafora: bangsa ini adalah kapal raksasa yang berlayar di lautan global, tapi dengan kompas yang buta huruf. Kita bergerak, tapi tak tahu ke mana. Kita bekerja, tapi tak pernah betul-betul memahami dunia yang kita masuki.

BACA JUGA  Sebuah Momen Bahagia di Depan Kampus: Mengenang Perjalanan Orangtua dalam Menyaksikan Anak Bertumbuh

Maka pertanyaan bukan lagi: mengapa kita buruk dalam literasi? Pertanyaannya lebih getir: bagaimana sebuah bangsa bisa mengerti dirinya sendiri, bila bahkan kalimat paling sederhana pun gagal dimaknai? Bangsa sebesar ini hampir tanpa pembaca mahir. Ironi itu seperti sebuah paradoks: raksasa dengan otot, tapi nyaris tanpa mata. Apa artinya berdiri di panggung dunia, bila kalimat sederhana saja terselip dari pemahaman?

Kofi Annan pernah berkata, “Literacy is a bridge from misery to hope.” Jembatan. Kata itu menyalakan imajinasi. Tanpa literasi, kita hanyalah kerumunan yang berdiri di tepi jurang, menatap ke seberang, ke dunia penuh kemungkinan, tapi tak pernah bisa menyeberang.

Bukankah kita pernah punya pengalaman dengan jembatan? Dulu, generasi perintis republik menemukan jembatan itu dalam bentuk buku-buku tipis, koran yang diselundupkan, pamflet yang digandakan diam-diam. Dari teks, mereka merumuskan cita-cita, menyusun revolusi. Membaca adalah bagian dari perlawanan.

Kini, jembatan itu patah di tengah jalan. Kita berhenti di tengah—bisa membaca huruf, tapi tak sampai pada makna. Kita seakan terjebak di lingkaran setan: kebodohan melahirkan ketidaktahuan, ketidaktahuan melahirkan kemiskinan, kemiskinan melahirkan masa depan yang gagal.

Dan lingkaran itu seperti pusaran air. Semakin kita berputar, semakin dalam kita terseret. Apakah kita masih bisa membangun jembatan itu kembali? Ataukah bangsa ini akan terus tinggal di tepi, menatap dunia dari jauh, sambil menghibur diri bahwa membaca tidak sepenting itu?

Banyak komentator di televisi menuding korupsi sebagai penyakit utama bangsa. Kita pun mengangguk, seperti jamaah yang menerima khotbah rutin. Tapi benarkah korupsi itu penyakit utama? Atau jangan-jangan hanya demam yang tampak di permukaan, sementara tubuh bangsa ini menyembunyikan luka yang lebih dalam?

BACA JUGA  Spanduk, Liga yang Tak Kunjung Datang, dan Timnas Putri yang Harus Bertarung Sendirian

Korupsi hanyalah simptom. Akar masalahnya lebih getir: kebodohan, rasa minder yang akut, dan moral yang busuk. Bayangkan sebuah rumah besar dengan atap bocor. Kita sibuk menadah air yang menetes, padahal temboknya sendiri sudah keropos.

Seorang yang berilmu, yang terbiasa membaca dengan tekun, akan tumbuh dengan wisdom. Dari sana lahir kepercayaan diri: keyakinan bahwa ia bisa berhasil tanpa harus mencuri, tanpa harus menipu. Bacaan melatih imajinasi, dan imajinasi memberi alternatif.

Bangsa yang miskin bacaan, miskin imajinasi, tak punya alternatif selain jalan pintas. Dan korupsi adalah jalan pintas yang paling gampang.

Korupsi, pada akhirnya, memang akan selalu ada. Tapi di negeri yang kuat ilmunya, berakar karakternya, ia hanyalah pinggiran—bukan arus utama.

Maka mungkin kita harus bertanya ulang: apa yang lebih mendesak bagi sebuah bangsa—membasmi korupsi atau membasmi kebodohan? Sebab, bangsa yang tidak percaya pada kekuatan ilmu akan selalu melahirkan pejabat yang hanya percaya pada kekuatan amplop. Ilmu memberi jalan terang; amplop memberi jalan pintas. Yang satu membangun peradaban, yang lain membangun ilusi.

Kita sering berteriak: basmi korupsi!, seakan-akan itu akar dari segala malapetaka. Padahal, barangkali korupsi hanyalah gejala dari penyakit yang lebih tua: ketidakmampuan membaca dunia dengan nalar, keberanian tanpa pengetahuan, kekuasaan tanpa kebijaksanaan.

Bayangkan, jika para koruptor ternyata datang dari orang-orang yang malas membaca, malas berpikir, malas menggugat dirinya sendiri—maka memang wajar mereka berkuasa lewat amplop. Dan di negeri di mana buku hanya menjadi hiasan, wajar jika kantor-kantor dipenuhi pejabat yang memuja transaksi.

Membasmi korupsi tanpa membasmi kebodohan ibarat menebang pohon dengan meninggalkan akar. Ia akan tumbuh lagi, lebih rimbun, lebih pekat. Tetapi membasmi kebodohan dengan ilmu—meski lambat, meski tak spektakuler—mungkin justru membongkar tanah yang menumbuhkan pohon korupsi itu sendiri.

BACA JUGA  Mencari One Piece di Akhir Ramadan

Namun, bila kita berhadapan dengan koruptor yang nyata—yang menyulap anggaran menjadi vila, rumah sakit menjadi rekening pribadi, beasiswa menjadi mobil mewah—tak mungkin kita hanya bersyair tentang buku dan ilmu. Kehidupan yang adil memang menuntut korupsi diberantas dengan cara yang keras. Dilema itu kembali pada kita: apakah kita mau jadi bangsa pembasmi gejala, atau bangsa pencabut akar?

Sumber: https://www.salamyogyakarta.com/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *