EsaiOlahraga

Dari STY ke Kluivert: Saatnya Sepak Bola Indonesia Berbenah dari Akar

×

Dari STY ke Kluivert: Saatnya Sepak Bola Indonesia Berbenah dari Akar

Sebarkan artikel ini
Foto tangkapan media sosial instagram Timnas Indonesia

BANYUMASMEDIA.COM – Pergantian pelatih kepala tim nasional Indonesia bukan sekadar urusan kursi panas. Ia adalah cermin: sejauh mana sistem sepak bola kita bertumpu pada fondasi yang kuat atau justru rapuh di akar.

Setelah sepuluh bulan bekerja, Patrick Kluivert resmi mengakhiri kontraknya dengan PSSI pada 16 Oktober 2025. Pelatih asal Belanda itu datang membawa reputasi besar, tapi gagal menuntaskan target Piala Dunia 2026. Sebelumnya, Shin Tae-yong (STY) sempat menjadi simbol kebangkitan, memperbaiki mental dan performa timnas sejak 2020. Kini, dua nama itu menjadi titik refleksi: apa yang salah, dan di mana kita perlu berbenah?

Di bawah Shin Tae-yong, tim nasional Indonesia mulai menapaki gaya sepak bola modern. STY memperkenalkan pressing tinggi, transisi cepat, dan struktur organisasi permainan yang rapi. Ia menanamkan disiplin ketat dan mental juang yang jarang terlihat sebelumnya.

Hasilnya tampak nyata: Indonesia lolos ke Piala Asia 2023, menembus semifinal SEA Games, dan peringkat FIFA melonjak dari posisi 173 (2019) ke sekitar 127 pada 2024. Lebih dari sekadar hasil, STY juga berani menurunkan pemain muda, menyiapkan generasi baru lewat U-19 dan U-23.

Namun, di balik capaian itu, STY juga bekerja dalam ruang sempit: keterbatasan infrastruktur, kompetisi usia muda yang tidak konsisten, serta sistem pembinaan daerah yang belum terintegrasi. Ia membangun “atap rumah” sebelum pondasinya selesai dikerjakan.

Belajar dari Jepang: Membenahi dari Fondasi

Jepang tidak pernah membangun kejayaan sepak bola dalam semalam. Japan Football Association (JFA) menulis cetak biru pembangunan bernama Japan’s Way. Visi jangka panjang yang menekankan empat pilar: pengembangan pemain muda, pelatih, lingkungan, dan budaya sepak bola.

Dari usia 5 tahun, anak-anak Jepang sudah dikenalkan pada sistem pembinaan bertahap: U-8, U-12, U-15, hingga akademi profesional. Semua terhubung melalui klub, sekolah, dan asosiasi prefektur. Hasilnya adalah ekosistem yang hidup: pelatih berlisensi, liga usia muda teratur, dan jalur karier pemain yang jelas.

BACA JUGA  Pavlovic Jadi Penentu: Milan Kunci Kemenangan Tipis atas Roma di San Siro

PSSI sebenarnya telah menandatangani nota kesepahaman dengan JFA pada 2023, berkomitmen untuk mengadopsi sebagian sistem itu. Namun implementasinya masih tersendat. Tanpa pembinaan usia muda yang kuat di daerah, filosofi besar hanya akan berhenti di atas kertas.

Askab PSSI: Jantung yang Masih Lemah

Di sinilah Askab PSSI (Asosiasi Kabupaten) seharusnya berperan vital. Mereka adalah garda terdepan pembinaan sepak bola lokal. Askab bisa menjadi “miniatur JFA” di tingkat kabupaten: menyelenggarakan liga usia muda, melatih pelatih, dan membuka jalur bagi pemain menuju klub profesional.

Namun, banyak Askab yang masih berjalan sporadis, minim kompetisi, keterbatasan dana, hingga belum ada kalender pembinaan yang jelas. Akibatnya, pelatih timnas selalu menghadapi “krisis bahan baku”: pemain muda dengan teknik mentah, daya tahan minim, dan pemahaman taktik rendah.

Padahal, jika Askab mampu bergerak sistematis, pelatih kepala timnas , siapa pun orangnya, akan bekerja di atas pondasi yang kuat, bukan sekadar memoles di permukaan.

Shin Tae-yong menanamkan disiplin. Namun tanpa pondasi daerah yang kokoh, sepak bola Indonesia akan terus berputar dalam siklus harapan dan kekecewaan.

Askab PSSI adalah kunci yang selama ini terabaikan. Jika jantung sepak bola nasional ingin berdetak sehat, perbaikannya harus dimulai dari sini, dari lapangan-lapangan kecil di kabupaten, tempat bibit mimpi pertama kali disemai.[asr]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *