BANYUMASMEDIA.COM – Septi Ambarwati, M.Pd.Si, pemerhati remaja dan keluarga, mengungkapkan kekecewaannya terhadap disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 pada Juli lalu. Aturan ini mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi anak sekolah dan merupakan turunan dari pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023.
“Sebagai seorang ibu, saya sangat terkejut membaca aturan baru ini, meskipun sebelumnya saya sempat melihat pemberitaan yang mengarah ke sana di media sosial. Berita tersebut cukup mengejutkan karena narasinya tajam dan judul-judulnya bombastis, bahkan gambar ilustrasinya memicu rasa penasaran, apalagi anak-anak sekarang mudah mengakses media sosial,” ungkap Septi dalam pesan singkatnya kepada banyumasmedia.com, Senin (5/8/2024).
Septi, yang merupakan penulis, pendiri Komunitas Ibu Peduli Bullying, dan penggiat parenting, pendidikan, serta literasi, menyatakan bahwa aturan ini tidak relevan dan kontradiktif dengan kondisi masyarakat Indonesia, khususnya remaja.
“Aturan ini sangat tidak relevan dengan budaya Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran, norma sosial, dan keagamaan. Seks bebas adalah pelanggaran berat, dan kita tidak menganut itu,” tegasnya.
Dia juga menyoroti bahwa penyuluhan kesehatan reproduksi yang diterapkan saat ini mengadopsi pendekatan dari negara barat yang lebih fokus pada edukasi tentang hubungan sehat. Menurutnya, strategi tersebut tidak cocok diterapkan di Indonesia, dan pengajaran alat kesehatan reproduksi sebaiknya tidak dilakukan dalam audiensi campuran laki-laki dan perempuan.
“Materi yang disampaikan sering kali memicu rasa ingin tahu anak-anak, terutama bagi mereka yang mudah mengakses berita di internet. Hal ini membuat orang tua semakin sulit mengasuh di tengah gempuran teknologi,” jelasnya.
Septi sangat prihatin dan menekankan bahwa aturan ini dapat memicu penggunaan alat kontrasepsi untuk hal-hal yang tidak dibenarkan.
“Esensi dari aturan ini, yang sudah dijelaskan dalam Pasal 1 dan 2, adalah penyediaan kontrasepsi untuk anak sekolah dan remaja. Saya sependapat dengan berita di banyumasmedia.com (4/8) mengenai ketidaksepakatan anggota dewan terhadap aturan ini. Urgensi peraturan pemerintah ini malah berpotensi membalikkan pemikiran anak-anak remaja kita, dengan penyediaan alat kontrasepsi justru memotivasi mereka untuk menggunakannya, seolah itu menjadi legalitas,” paparnya.
Dia menambahkan, “Ini sangat memprihatinkan bagi orang tua. Tanpa adanya penyediaan legal, sudah banyak persoalan di kalangan remaja, seperti pergaulan bebas. Sekali lagi, aturan ini sangat tidak relevan dan malah kontradiktif. Kita sedih, marah, dan sangat prihatin. Apakah pemerintah tidak mempertimbangkan pendapat dari pihak yang kompeten dan bersentuhan langsung dengan masyarakat? Secara norma agama, aturan ini sangat bertentangan, dan kita sebagai negara mayoritas Muslim seharusnya tidak menormalisasi perilaku yang dilarang.”
Septi berharap pemangku kebijakan akan mempertimbangkan kembali aturan ini, yang dinilainya tidak relevan dan justru memicu perilaku terlarang di kalangan remaja. “Urgensi dan relevansi aturan ini sangat diragukan. Aturan ini kontradiktif dan bukan solusi,” pungkasnya. (Tanti)