BANYUMASMEDIA.COM – Tak ada yang pernah memuji cacing tanah saat panen berhasil. Tak ada pula yang mengingatnya ketika padi menguning atau sayur tumbuh subur di kebun. Padahal, di balik tanah yang gembur dan tanaman yang sehat, ada makhluk tanpa mata yang bekerja terus-menerus, siang dan malam, tanpa libur dan tanpa tepuk tangan.
Namanya cacing tanah.
Cacing tanah mungkin bukan fauna yang memesona. Tubuhnya licin, hidup di balik tanah, dan sering dianggap remeh. Namun secara ilmiah, cacing tanah adalah salah satu arsitek paling penting dalam ekosistem darat. Tanpa mereka, tanah kehilangan napasnya.
Cacing tanah berperan besar dalam aerasi tanah, membuat tanah “bernapas”. Saat mereka menggali dan bergerak, terbentuklah saluran-saluran kecil yang memungkinkan udara dan air masuk lebih dalam. Akar tanaman pun tumbuh lebih mudah, tidak tercekik oleh tanah padat. Dalam istilah sederhana: cacing membuat tanah tidak pengap.
Tak berhenti di situ, cacing juga menjadi pengolah limbah organik alami. Daun gugur, sisa tanaman, dan bahan organik lain yang masuk ke tanah akan dicerna oleh cacing. Hasil pencernaannya—yang dikenal sebagai castings, mengandung nitrogen, fosfor, dan kalium dalam bentuk yang lebih mudah diserap tanaman. Ini sebabnya tanah yang banyak cacingnya biasanya lebih subur.
Menariknya, peran penting ini sudah disadari jauh sebelum istilah “ekologi” populer. Charles Darwin, tokoh besar dalam biologi evolusi, bahkan menulis buku khusus berjudul The Formation of Vegetable Mould through the Action of Worms pada tahun 1881. Dalam buku itu, Darwin menyimpulkan bahwa cacing tanah adalah agen utama pembentuk lapisan tanah subur di permukaan bumi. Ia menyebut kerja cacing sebagai proses lambat, senyap, tapi sangat menentukan.
Cacing tanah juga menjadi penghubung penting dalam siklus nutrisi. Mereka membantu memindahkan nutrisi dari permukaan ke lapisan tanah yang lebih dalam, sekaligus membawa mineral dari bawah ke atas. Tanpa proses ini, tanah akan cepat miskin unsur hara.
Ironisnya, justru karena hidupnya sunyi dan tak terlihat, cacing tanah sering menjadi korban praktik pertanian modern. Penggunaan pestisida dan pupuk kimia berlebihan, pengolahan tanah ekstrem, serta pencemaran tanah membuat populasi cacing menurun drastis di banyak wilayah. Tanah memang masih tampak subur di permukaan, tapi kehilangan “pekerja dalam tanah” yang menjaga keseimbangannya.
Cacing tanah tidak bersuara ketika tanah rusak. Mereka tidak bermigrasi jauh, tidak protes, tidak muncul ke permukaan kecuali terpaksa. Hilangnya cacing sering baru terasa ketika tanah menjadi keras, tanaman mudah stres, dan hasil panen menurun.
Di tengah perbincangan besar tentang ketahanan pangan dan krisis lingkungan, cacing tanah mengajarkan satu hal penting: ekosistem tidak selalu diselamatkan oleh yang besar dan mencolok. Kadang, yang paling menentukan justru makhluk kecil yang bekerja tanpa terlihat.
Tanpa mata, tanpa suara, tanpa nama besar, cacing tanah menjaga pangan manusia dari bawah kaki kita sendiri.
Dan mungkin, justru karena itulah mereka jarang kita ingat.[asr]











