Fauna

Saat Rumah Para Hewan Menyempit: Cerita Hutan Indonesia yang Terus Mundur

×

Saat Rumah Para Hewan Menyempit: Cerita Hutan Indonesia yang Terus Mundur

Sebarkan artikel ini

BANYUMASMEDIA.COM – Ada yang pelan-pelan hilang dari negeri ini, bukan hanya suara satwa langka, tetapi rumah besar yang selama ribuan tahun menjadi tempat mereka lahir, berburu, bersembunyi, dan bertahan hidup: hutan.

Di peta dunia, Indonesia dulu dikenal sebagai salah satu “kerajaan hutan tropis.” Namun laporan-laporan terbaru mengingatkan bahwa rumah para hewan ini makin retak, makin sempit, dan makin bising oleh aktivitas manusia.

Data Global Forest Watch menunjukkan Indonesia telah kehilangan lebih dari 10 juta hektare hutan primer sejak 2002. Itu setara hilangnya hampir dua Pulau Jawa bagian barat. KLHK memang mencatat laju deforestasi menurun dalam beberapa tahun terakhir, tetapi penurunan angka bukan berarti aman. Yang hilang tetap hilang, dan yang rusak tidak serta-merta tumbuh kembali.

Setiap hektare yang hilang berarti satu halaman kisah satwa yang ikut terhapus. Di Kalimantan, lebih dari setengah habitat orangutan lenyap dalam dua dekade. Di Sumatra, hutan dataran rendah, rumah bagi harimau, tapir, beruang madu, kini terbelah menjadi pulau-pulau kecil vegetasi. Hewan-hewan besar yang butuh wilayah jelajah luas seakan dipaksa menyesuaikan diri di kamar-kamar yang makin sempit.

Dan saat rumah mereka menyempit, mereka melakukan hal paling wajar yang dilakukan siapa pun ketika kehilangan tempat tinggal: mencari ruang di tempat lain. Gajah masuk kebun sawit. Harimau muncul di ladang penduduk. Burung-burung pulau kecil kehilangan tempat bertengger. Kukang, trenggiling, dan landak mencari aman di tepi perkampungan. Setiap tahun, KLHK mencatat ribuan konflik manusia-satwa. Sebuah konsekuensi sederhana dari satu pertanyaan: “Rumah mereka tinggal di mana?”

Di balik angka-angka itu ada cerita yang lebih sunyi: hutan yang terbakar, bukit yang dibuka untuk perkebunan baru, tebing yang dikeruk menjadi tambang, hingga jalan-jalan yang membelah rimba. Di Papua, bentang hutan yang dulu utuh mulai dipotong perlahan oleh konsesi perkebunan dan infrastruktur. Di Kalimantan, gambut terbakar setiap musim kemarau, meninggalkan kecoak hutan, musang, kukang, dan ular tanpa tempat kembali. Di Sumatra, satu bukit yang dibuka berarti satu populasi satwa yang terisolasi.

BACA JUGA  Endemik yang Epik: Maleo dan Telur Besar

Ironisnya, hutan bukan hanya milik hewan. Hutan yang sehat menjaga aliran sungai, menahan longsor, dan menyimpan karbon. Ketika hutan hilang, manusia sebenarnya ikut kehilangan fondasi hidupnya sendiri. Namun karena efeknya tidak langsung, kita sering mengira semuanya baik-baik saja. Seperti atap yang bocor perlahan, air baru terasa ketika sudah menetes tepat di kepala.

Kolom fauna minggu ini bukan sekadar tentang satu hewan tertentu. Ini tentang panggung besar tempat semua hewan itu hidup: hutan itu sendiri. Tanpa panggung, tidak ada cerita. Tidak ada suara burung di pagi hari, tidak ada tapak kaki rusa di tanah basah, tidak ada bayangan elang di atas lembah. Yang tersisa hanya kenangan tentang apa yang pernah ada.

Selama hutan terus menyusut, kita tak akan kehabisan cerita duka tentang satwa. Tapi mungkin, suatu hari nanti, kita kehabisan satwa itu sendiri.

Dan pada titik itu, kesunyianlah yang akan menguasai seluruh panggung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *