EsaiSosok

Lafran Pane: Menggali Jejak Pemikiran dan Perjuangan dalam “Merdeka Sejak Hati”

89
×

Lafran Pane: Menggali Jejak Pemikiran dan Perjuangan dalam “Merdeka Sejak Hati”

Sebarkan artikel ini

BANYUMASMEDIA.COM – Perihal Lafran Pane, awalnya saya hanya mengetahui bahwa beliau seorang pemrakarsa organisasi mahasiswa terbesar dan tertua di Indonesia yang sampai sekarang masih eksis. Itu saja, tidak kurang dan tidak lebih.

Lalu seorang penulis yang sukses dengan karya nan inspirasi, Ahmad Fuadi meminati untuk menuliskan jejak hidup beliau. Tentu Ahmad Fuadi mendekati Lafran Pane melalui caranya, ya melalui karya yang bernama novel, Ahmad Fuadi menggoreskan lisi masa hidup Lafran.

Dalam hal inilah, sepertinya Ahmad Fuadi telah berhasil menarik hasrat saya untuk mendedah jejak hidup pendiri HMI itu yang ternyata juga adalah adik dari sastrawan Sanusi Pane dan Armijn Pane.

Merdeka Sejak Hati, judul yang tersemat di novel ini. Apa sebabnya yang membuat penulis akhirnya memberi penekanan pada soalan merdeka sejak hati?

Merdeka bisa diartikan bebas, tidak terikat. Persoalan hati menandakan kedalaman atas pilihan yang dibuat. Segala gerak dan tindak tidak akan bisa lepas dari pikiran.

Pikiran pikiran dalam diri seseorang mengalami proses pengolahan yang rumit. Pusat penyimpanannya ada pada otak, kemudian dikelola oleh akal. Di sana ada pembenar dan penyalahan. Dalam hal ini menjadikan orang orang mengerti ada proses memahami, memilih, memutuskan, dan melakukan.

Awal cerita Lafran Pane cenderung berkutat pada hal kemerdekaan ego pribadi. Hal ini, tidak lain karena lini masa hidupnya sewaktu kecil. Tetapi lambat laun selepas didera berbagai hal, hingga pada satu ketika Bang Sanusi mengingatkannya. Begitu pula dengan Bang Armijn yang juga memberinya nasihat.

“Ini masa bergerak maju, Bung. Progresif. Pakailah tenaga dan waktu kau untuk negara ini. Sambut masa ini. Bergerak kita bersama. Ini mau revolusi,”

BACA JUGA  Menanamkan Kecintaan Anak kepada Allah Sejak Dini [1]

Itulah titik nadir kemerdekaan egonya, selepas itu terbentang di matanya, ada ketidakadilan yang begitu besar dan terlihat setiap hari.

“Ada kemerdekaan yang lebih mulia dan besar dibandingkan kemerdekaan ego pribadi, yaitu kemerdekaan bersama bangsa ini.” terang Lafran Pane.

Dalam lembaran-lembaran halaman, saya benar benar telah dibuat terkagum kagum. Invisible Man salah satunya. Lafran Pane datang tanpa diundang ke konferensi HMI. Sampai di lokasi, ia tidak diperkenankan masuk oleh panitia bidang keamanan disebabkan tidak membawa dan tidak punya undangan. Barangtentu panitia tersebut tidak mengetahui kalaulah ia adalah pendiri organisasi yang hari itu sedang konferensi.

Hal itu nampaknya sedikit membuat hatinya bergejolak. Kalaulah ia mau tinggal bilang, “Kenalkan ini saya Lafran, pemrakarsa HMI.” Tapi itu tidak dilakukannya.

Kata yang keluar darinya selepas acara, “Semakin banyak orang yang tidak kenal aku, artinya semakin besar organisasi kita. Sudah sepantasnya kita bersyukur kalau organisasi tumbuh lebih besar dari pada orang-orangnya,”

Di luar itu, melalui kisah yang dinovelkan ini setidaknya memberi gambaran bahwa organisasi ini lahir dari suatu kebutuhan zaman. Selain bicara nasionalisme, dasar yang musti dibangun adalah soalan agama. Dari masjid-masjid Lafran Pane mencoba menghimpun mahasiswa Islam agar peduli pada bangsa dan agamanya.

Dan saya ingin menuliskan kembali pesan Lafran Pane.

“Silahkan kalian aktif di PPP, PDI, dan Golkar. Tapi tolong Islam jangan dimusuhi”

“Merdeka sejak hati. Islam sejak nurani”

***

(Catatan baca lini masa hidup Lafran Pane Novel karya Ahmad Fuadi oleh Ahmad Sofia Robbani)