BANYUMASMEDIA.COM – Indonesia itu luas. Tapi sering kali, potret paling jujurnya tidak ditemukan di layar-layar resmi, rapat paripurna, atau feed Instagram kementerian. Justru ia muncul di tempat-tempat yang tak diduga: di trotoar sempit, di warung kopi yang kipas anginnya ngadat, atau… di salah satu perempatan lampu merah, seperti di Purwokerto ini.
Di sana, siang bolong yang biasanya hanya dihiasi suara klakson dan sengatnya matahari, mendadak berubah jadi panggung dadakan. Dua orang pria mengunyah nyali, menyulut obor, dan menyemburkan api dari mulutnya. Api betulan, bukan metafora.
Mungkin awalnya ini terasa lucu. Eksotik. Menegangkan. Tapi kalau kita diam sejenak, kita akan sadar: ini bukan cuma soal hiburan. Ini adalah simbol. Potongan mozaik dari wajah Indonesia yang sesungguhnya.
Si penampil mungkin tidak dilatih oleh instruktur sirkus. Tidak diawasi pemadam. Tapi yang jelas, dia dilatih oleh kehidupan, oleh tekanan, kebutuhan, dan kreativitas untuk bertahan.
Sembur api sebenarnya bukan hal asing di Indonesia. Di beberapa daerah, atraksi ini jadi bagian dari perayaan tradisional. Di pesta rakyat, di acara sedekah bumi, atau dalam parade budaya. Tapi tentu dilakukan oleh tim yang latihan.
Tapi di sini, panggungnya adalah aspal. Penontonnya adalah pemotor yang lagi panas dan pengemudi lainnya yang tengah menunggu hijaunya lampu.[asr]