BANYUMASMEDIA.COM – Andrea Hirata dikenal piawai mengolah kisah sederhana menjadi cermin sosial. Novel Sirkus Pohon (Bentang Pustaka, 2017, 412 halaman) adalah salah satu buktinya. Ditulis setelah riset panjang, karya ini menghadirkan dunia pedalaman Belitung dengan segala kegetiran, tetapi dikemas lewat humor, ironi, dan metafora yang segar.
Latar Pedalaman, Tokoh Lugu
Cerita berpusat pada kehidupan masyarakat kampung: pemuda pengangguran, pedagang kecil, hingga pegawai desa. Andrea menghadirkan tokoh-tokoh yang lugu, jenaka, bahkan kerap terlihat “absurd”, namun justru dari keluguan itulah realitas sosial dipantulkan.
Pohon delima, yang menjadi judul sekaligus simbol utama, seakan menjadi saksi bisu dari liku-liku masyarakat kecil. Ia berdiri tegak di tengah absurditas, seperti harapan yang keras kepala meski terus diterpa kesulitan.
Kritik Sosial yang Dibungkus Jenaka
Seperti dalam karya-karya sebelumnya, Andrea tidak menjejalkan kritik dengan gaya menggurui. Dalam Sirkus Pohon, isu pengangguran, kemiskinan, dan keterbatasan akses hidup sehari-hari dihadirkan lewat adegan kocak yang membuat pembaca tertawa, lalu tiba-tiba merenung.
Misalnya, ketika tokoh pemuda kampung mencoba berbagai cara untuk mencari penghidupan, pembaca akan melihat potret nyata pengangguran struktural di daerah. Namun Andrea menuliskannya dengan gaya sirkus—ramai, lucu, dan ironis.
Simbol Pohon: Keteguhan di Tengah Getir
Metafora pohon delima menjadi benang merah novel ini. Pohon bukan hanya latar, melainkan simbol keteguhan masyarakat kecil yang meski “terkurung” dalam lingkaran keterbatasan, tetap tumbuh dan bertahan. Andrea mengingatkan bahwa dalam kesederhanaan selalu ada martabat yang tak bisa diremehkan.
Di tangan Andrea, narasi sosial tidak hadir sebagai pidato. Ia menjelma dalam percakapan kocak antarwarga kampung, dalam keanehan peristiwa sehari-hari, dan dalam simbol-simbol alam. Humor dan ironi menjadi “kendaraan” untuk menyampaikan kritik yang sesungguhnya serius. [asr]

