BANYUMASMEDIA.COM – Di kota-kota kecil maupun besar, kedai kopi menjelma lebih dari sekadar tempat minum kafein. Ia menjadi ruang perjumpaan, ajang ide, bahkan simbol gaya hidup. Di Purwokerto misalnya, dalam radius kurang satu kilometer dari alun-alun, sudah banyak kedai kopi berdiri dengan konsep beragam, dari yang industrialis minimalis hingga yang menawarkan suasana rumahan.
Fenomena ini bukan hanya tren lokal. Data Asosiasi Kopi Spesial Indonesia (AKSI) mencatat pertumbuhan kedai kopi meningkat signifikan dalam lima tahun terakhir. Generasi muda menjadi pengunjung utama, dengan motivasi bukan semata mencari rasa kopi, tetapi juga suasana dan pengalaman.
Nongkrong di kedai kopi menghadirkan identitas baru. Ada yang menjadikannya “kantor kedua” lengkap dengan laptop dan headset, ada pula yang menjadikannya ruang diskusi santai. Bahkan tak jarang, ide bisnis maupun komunitas lahir dari meja kayu panjang yang dikelilingi cangkir-cangkir cappuccino.
Namun, gaya hidup ini juga punya sisi lain. Harga segelas kopi yang bisa setara dengan makan siang sederhana membuat nongkrong di kafe lebih dekat dengan kelas menengah perkotaan. Belum lagi, muncul pertanyaan soal keberlanjutan: apakah tren ini memberi dampak positif pada petani kopi di hulu, atau sekadar berhenti pada gaya hidup konsumtif?
Terlepas dari kritik tersebut, tak bisa dipungkiri kedai kopi kini menjadi “ruang sosial baru”. Ia menandai pergeseran budaya dari rumah ke ruang publik, dari ruang keluarga ke meja-meja kafe. Nongkrong bukan lagi dianggap membuang waktu, tetapi justru menjadi cara merawat jejaring, mencari inspirasi, dan menjaga kesehatan mental lewat interaksi sosial.
Mungkin benar kata seorang penikmat kopi: “Di setiap cangkir kopi, selalu ada percakapan yang tak bisa digantikan.” [asr]