BANYUMASMEDIA.COM – Ada pelan-pelan datang dari malam, bayangan besar, kulit bersisik halus, garis punggung seperti perahu tua yang menyeret tubuhnya ke garis pasang. Ketika pagi menyapa, jejaknya masih terlihat: jejak besar di pasir, lubang sarang, dan ratusan telur yang menanti matahari menerpa. Itu penyu belimbing (Dermochelys coriacea), sang raksasa laut yang setiap tahun memilih beberapa pantai di kepala burung Papua sebagai tempat bertelur. Salah satunya: Jamursba Medi.
Jamursba Medi, bersama Wermon bukan pantai biasa. Kedua garis pantai itu disebut sebagai benteng terakhir penyu belimbing Pasifik barat: tempat bertelur terpenting yang masih tersisa untuk populasi ini. Penelitian dan monitoring selama puluhan tahun menunjukkan konsentrasi bertelur yang lebih tinggi di wilayah ini dibandingkan lokasi lain di Pasifik.
Penyu belimbing adalah penyu laut terbesar: berat bisa ratusan kilogram, dan panjang karapasnya bisa melebihi dua meter. Mereka punya kebiasaan migrasi yang mengagumkan, membelah laut ribuan kilometer antara tempat makan dan tempat bertelur. Betina yang bertelur di Jamursba Medi bahkan pernah ditelusuri menempuh perjalanan lintas Samudra Pasifik untuk mencari pakan. Studi satelit menunjukkan rute migrasi yang luas dan jarak ribuan kilometer itu.
Tapi data jangka panjang memperlihatkan kabar yang mengkhawatirkan: jumlah sarang betina yang tercatat di Jamursba Medi menurun drastis dalam beberapa dekade terakhir. Analisis menyeluruh menemukan penurunan signifikan, puluhan persen, dalam jumlah betina yang kembali bertelur antara 1980-an sampai awal 2010-an. Trennya jelas: populasi bertelur menurun secara dramatis.
Ada beberapa penyebab yang saling berkelindan. Pertama: bycatch, penyu tersangkut dalam jaring dan alat tangkap industri perikanan yang lalu di rute migrasinya. Kedua: perburuan telur dan pengambilan telur untuk konsumsi lokal atau perdagangan (meski di banyak lokasi perlindungan meningkat, praktik ini masih terjadi). Ketiga: rendahnya keberhasilan menetas (hatchling success) terkait kondisi pantai, komposisi pasir, predasi, dan perubahan iklim yang memengaruhi suhu inkubasi telur. Semua faktor itu menekan angka kelahiran. Studi lapangan di Jamursba Medi juga menemukan bahwa meskipun jumlah betina yang bertelur masih ada, produksi tukik (anak penyu) yang berhasil mencapai laut relatif rendah.
Kabar baiknya: upaya konservasi telah berjalan lama dan terus berkembang. Sejak awal 2000-an, berbagai program monitoring dan penelitian, melibatkan lembaga penelitian, LSM internasional, dan perguruan tinggi lokal—telah memetakan status populasi, melabeli betina (PIT tagging), dan melacak migrasi lewat satelit. Di lapangan, pendekatan yang paling efektif ternyata bukan sekadar patroli, melainkan keterlibatan komunitas adat setempat: patroli malam, pengawasan sarang, penanggulangan predator, dan edukasi agar telur tidak diambil. Model keterlibatan komunitas ini ditunjukkan sebagai kunci keberhasilan konservasi di Jamursba Medi dan sekitarnya.
Masih banyak tantangan: sumber daya pengawasan terbatas, tekanan perikanan di laut lepas, dan ancaman iklim yang mengubah pola angin, arus, serta suhu pasir, semua itu berdampak pada siklus hidup penyu. Namun kombinasi sains (tracking, monitoring hatchling success) dan kearifan lokal (patroli komunitas, aturan adat) memberi harapan nyata untuk menahan laju penurunan.
Jejaknya meninggalkan cerita, tentang perjalanan jauh, tentang persiapan bertelur di pantai yang spesial, dan tentang kemungkinan pudar bila kita lalai. Jamursba Medi tetap menjadi tempat sakral bagi penyu belimbing Pasifik barat. Melindungi pantai itu berarti menjaga sebuah jembatan antara generasi, antara laut luas dan pasir kecil tempat kehidupan baru dimulai. Jika kita kehilangan tempat seperti Jamursba Medi, kita tak hanya kehilangan penyu, tetapi juga kehilangan bagian penting dari kisah laut yang diwariskan ribuan milenium. [asr]











